Di India Sudah Hidup Berdampingan Dengan Harimau

Sensus global terbaru menunjukkan jumlah harimau mencapai 3.890, bertambah dari angka 3.200 pada 2010.

Ada banyak alasan di balik kenaikan ini. Namun faktor utama, di sebagian tempat, penduduk setempat menemukan sejumlah cara untuk tinggal berdampingan dengan harimau.

Sekitar 50% populasi harimau dunia terdapat di India, dan di sebagian wilayah India, beberapa suku asli cukup senang hidup berdampingan dengan harimau.

Ini mungkin terdengar mengejutkan. Karena harimau kadang-kadang memangsa manusia, jadi bertetangga dengan harimau mungkin tampak opsi yang buruk. Bagaimanapun, kenyataannya orang hidup berdampingan dengan harimau.

Terlebih lagi, masyarakat adat mungkin justru membantu harimau.

Survival International, lembaga amal yang memperjuangkan perlindungan terhadap hak-hak suku asli mengatakan, “Suku asli adalah ahli konservasi dan pelindung terbaik bagi alam”.

Hal itu merupakan pengakuan yang besar, tetapi mereka mempunyai bukti untuk mendukung klaim itu.

Dewa

Suku Soliga

Pada Desember 2015, Survival International merilis data harimau yang hidup di Cagar Alam BRT di kawasan Ghats Barat, India. Antara tahun 2010 dan 2014, populasi harimau meningkat hampir dua kali lipat.

Tingkat pertumbuhan populasi itu tercatat lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional India.

Harimau-harimau tersebut hidup di hutan berdampingan dengan suku asli, suku Soliga. Alasan yang mungkin saja menyebabkan keberhasilan konservasi ini adalah suku Soliga menganggap harimau sebagai dewa.

“Kami memuja harimau sebagai dewa,” kata seorang warga Soliga. “Tidak ada insiden konflik apa pun antara orang Soliga dan harimau atau masalah perburuan di sini.”

“Kami adalah pihak yang menjaga harimau,” kata warga lainnya. “Jika kami dipindah sama artinya menghilangkan harimau.”

Hidup berdampingan antara harimau dan manusia mungkin lebih umum terjadi dibanding yang kita perkirakan.

Yang paling baru, hasil penelitian yang diterbitkan pada Mei 2016 disusun atas dasar survei terhadap penduduk yang tinggal di Cagar Alam Bor di Maharashtra. Tim peneliti mendapati bahwa penduduk setempat sangat toleran terhadap harimau.

Jenis makanan yang mereka konsumsi mungkin menjadi faktor. Mayoritas penduduk di sana adalah vegetarian, jadi mereka tidak berburu binatang liar sebagai sumber makanan. Artinya, di sana terdapat banyak hewan mangsa bagi harimau.

Terlebih lagi, karena penduduk desa sebagian besar bercocok tanam, mereka mengatakan bahwa mereka sejatinya memerlukan harimau untuk mengusir binatang-binatang perusak tanaman.

Para peternak sapi perah juga berpendapat hidup berdampingan dengan harimau punya sisi positif karena dapat mengecilkan hati para pencuri susu yang hendak masuk ke daerah mereka.

Konservasi harimau

Harimau Benggala

Tak seperti suku Soliga, warga di dekat Cagar Alam Bor pernah mengalami konflik dengan harimau. Sejumlah warga dan ternak mati karena diserang harimau. Kendati demikian, hal itu tak sampai menyebabkan sikap negatif terhadap harimau.

Alasan di balik toleransi luar biasa ini adalah karena penduduk setempat beragama Hindu, dan mereka meyakini bahwa harimau adalah binatang untuk transporasi dewi Durga.

Namun di balik keberhasilan ini, di seluruh India, suku-suku asli diusir dari kawasan-kawasan yang dilindungi, sering kali atas alasan untuk konservasi harimau.

“Bagi saya ini adalah ironi besar jika kalangan konservasi belum memahami bahwa tempat satu-satunya di mana harimau mampu bertahan adalah tempat-tempat yang didiamu oleh suku-suku asli yang sekarang sudah diusir,” kata Sophie Grig dari Survival International.

Perdebatan untuk tetap membiarkan penduduk asli tinggal di kawasan konservasi merupakan persoalan pelik.

Pada tahun 1980-an, sebagian orang Gujjar yang tinggal di kawasan yang terdapat banyak harimau di negara bagian India utara direlokasi ke tempat lain.

Dalam penelitian yang diterbitkan pada 2013, Abishek Harihar dari Universitas Kent di Canterbury, Inggris, mewawancarai sejumlah warga yang memutuskan untuk tetap tinggal di sana. Harihar menemukan bahwa banyak di antara mereka ingin sekali pindah.

“Setelah melihat kehidupan sanak saudara mereka lebih baik di luar kawasan hutan, warga Gujjar yang bertahan mempertimbangkan untuk pindah dari kampung halaman mereka,” jelas Harihar.

Ditambahkannya populasi satwa liar pulih “lumayan cepat” di daerah-daerah yang ditinggalkan penduduk.

Perburuan

Sebagian anggota suku Gujjar memutuskan untuk mengikuti program relokasi di luar hutan.

Sejauh ini tak jelas apakah pola tersebut akan terulang di tempat lain. Suku Gujjar tahu mereka terlalu banyak mengeruk sumber daya alam di hutan mereka, dan tak bisa memelihara ternak mereka di sana.

Akibatnya, mereka berpikir lebih baik pindah ke tempat lain yang menawarkan sejumlah akses kemudahan seperti pendidikan.

Tetapi jika suku Gujjar hidup di hutan, dan dibiarkan dalam kemiskinan, Harihar khawatir sebagian dari mereka akan tergoda untuk melakukan perburuan binatang liar, yang bisa menggiurkan.

“Muncul sejumlah kasus yang melibatkan orang-orang Gujjar meracuni bangkai kerbau untuk membunuh harimau, dan kemudian menjual kulit serta tulang harimau kepada pedagang,” kata Harihar.

Penduduk desa hanya menerima sedikit kompensasi atas ternak yang dibunuh oleh mangsa, tambahnya. Jadi mereka berkali-kali meracuni ternak mereka untuk membunuh harimau. Warga juga terlibat dengan para pemburu liar yang terorganisir.

Bagaimanapun, Grig berkata masalah ini terlalu dilebih-lebihkan. Ia mengklaim tak tahu ada anggota suku asli yang terlibat dalam perburuan liar harimau.

“Selalu ada orang-orang yang mungkin berburu harimau untuk mengisi pasar gelap, apalagi ketika mereka dalam kondisi miskin dan merasa iri,” katanya. “Tetapi kalau kita bekerja bersama mereka, kemungkinan mereka melakukan perburuan berkurang.”

Diakui tidak mudah hidup berdampingan dengan binatang-binatang yang dapat membunuh kita atau ternak kita.

Tetapi jika komunitas asli dibiarkan mengatur tanah nenek moyang mereka, maka hal itu bisa menjadi bagian besar dari solusi yang diperlukan. Sebagaimana dituturkan oleh Harihar, “bekerja dengan suku asli adalah kuncinya”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *