Museum Pusaka Karo

Museum Pusaka Karo

Museum Pusaka Karo adalah salah satu museum di Sumatera Utara, Indonesia yang menyimpan koleksi barang-barang pusaka masyarakat Karo. Museum ini didirikan oleh misionaris Kapusin Belanda bernama Leonardus Egidius Joosten.[2] Bangunan museum ini sebelumnya merupakan gedung Gereja Katolik Santa Maria Berastagi yang sudah tidak digunakan lagi.[2] Pembangunan museum dimulai pada tahun 2010 dan peresmian dilakukan pada tanggal 9 Februari 2013 oleh Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Ahman Sya dan Lisa Tirto.[2] Museum Pusaka Karo berada dalam pengelolaan Yayasan Pusaka Karo. Koleksi Museum Pusaka Karo berupa benda pusaka asli Karo yang disumbangkan atau dititipkan oleh masyarakat Karo.[2]

Koleksi museum

Museum memiliki 70 koleksi berharga, di Museum Pusaka Karo, koleksi benda sejarah tidak hanya berasal dari institusi atau sumber formal, namun juga disumbangkan oleh warga sekitar 30 individu yang menyerahkan berbagai barang bersejarah untuk dipamerkan di museum. Namun, barang-barang ini dipinjamkan dan dapat dikembalikan kapan saja sesuai kebutuhan pemiliknya.[3]

Museum ini memiliki lebih dari 800 buah koleksi benda sejarah yang berasal dari berbagai periode, bahkan sejak abad ke-18. Barang-barang ini, yang sebagian besar sudah cukup tua, menyimpan banyak cerita masa lalu, seperti anting-anting, perkakas pertukangan dan berburu, peralatan pertanian, topeng, dan masih banyak lagi.[4]

Salah satu peninggalan sejarah yang menarik adalah koleksi Pustaka Lak-lak. Pustaka Lak-lak merupakan buku dengan aksara kuno yang dimiliki oleh Suku Karo. Buku-buku ini terbuat dari kulit kayu dan ditulis dengan aksara asli Karo. Isinya mencakup mantra-mantra yang dituliskan dengan tinta yang terbuat dari getah kayu.

Buku-buku kuno ini bervariasi dalam ukuran, mulai dari yang kecil hingga ukuran yang lebih besar. Sebagian buku kuno ini pada awalnya dibawa oleh Belanda dari Tanah Karo, namun kemudian dikembalikan dan dipamerkan di museum sebagai peninggalan khas dari Suku Karo. Anda masih bisa melihat koleksi buku kuno ini ketika mengunjungi Museum Pusaka Karo.[4]

Objek wisata sekitar museum

Di sekitar Museum Pusaka Karo, terdapat berbagai destinasi wisata alam yang menarik untuk dikunjungi, di antaranya adalah:

Air Terjun Sipiso-Piso dan Air Terjun Sikulikap

Pemandangan alam sekitarnya yang asri, seperti hamparan sawah, lembah, dan perbukitan hijau, menambah daya tarik wisata ini. Selain itu, pengunjung dapat menemukan berbagai flora dan fauna di sepanjang perjalanan.

Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak

Karo juga terkenal karena dua gunung berapi besar di wilayahnya, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Meskipun Gunung Sinabung pernah meletus pada tahun 2010, namun masih menjadi ikon Kabupaten Karo. Gunung Sibayak juga merupakan destinasi menarik, di mana pengunjung dapat menikmati pemandangan kawah yang menakjubkan, terutama saat matahari terbit atau terbenam.

Desa Budaya

Selain wisata alam, Kabupaten Karo menawarkan pengalaman berkunjung ke Desa Budaya, tempat yang mempertahankan adat dan budaya khas Karo. Desa Budaya seperti Desa Sempa Jaya atau Desa Budaya Lingga menampilkan arsitektur rumah adat khas Karo, seperti Rumah Siwaluh Jabu, yang memiliki nilai sejarah tinggi sebagai peninggalan Kerajaan Karo.[4]

Bagi para petualang, Gua Liang Dahar di Desa Lau Buluh, Kecamatan Kuta Buluh Simole, Kabupaten Karo, menawarkan pengalaman yang menantang. Gua ini memiliki ruang besar dengan ukuran yang mencapai ratusan meter persegi, serta beberapa ruang kecil lainnya. Di dalam gua, pengunjung dapat menemukan mata air yang masih mengalir, serta sarang burung layang-layang di bagian atas dinding gua.[4]

Taman alam juga dapat dinikmati di Kabupaten Karo, seperti Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Taman Alam Lumbini. Taman-taman ini memberikan pengalaman yang mendalam dalam menikmati keindahan alam serta nuansa religius melalui berbagai fasilitas yang tersedia, seperti sejumlah pagoda yang merupakan artefak budaya.

Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Museum Aceh Meningkat Drastis

Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Museum Aceh Meningkat Drastis

BANDA ACEH – Museum Aceh mencatatkan peningkatan jumlah kunjungan yang signifikan pada tahun 2023.

Berdasarkan data jumlah kunjungan ke Museum Aceh di periode Januari hingga Desember 2023 mencapai 51.741 orang, meningkat drastis dari tahun 2022 yang hanya 41.503 orang.

Peningkatan jumlah kunjungan ini terutama didorong oleh wisatawan mancanegara (Wisman).

Jumlah kunjungan Wisman di tahun 2023 mencapai 7.242 orang, meningkat drastis dari tahun 2022 yang hanya 406 orang.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Almuniza Kamal mengatakan bahwa peningkatan jumlah kunjungan ini merupakan hasil dari upaya edukasi, promosi dan inovasi yang dilakukan oleh UPTD Museum Aceh.

BACA JUGA :Teknologi Gen AI Telkomsel Jadi Solusi Digital Pelaku Usaha

“Hal ini menunjukkan bahwa museum Aceh telah berhasil menarik perhatian wisatawan mancanegara maupun nusantara dengan berbagai pameran dan program-program edukatif yang menarik,” ujar Almuniza, Kamis, 18 Januari 2024.

Sepanjang tahun 2023, Museum Aceh terus berinovasi untuk menarik minat kunjungan wisatawan dan generasi muda dalam mengenal budaya dan sejarah.

“Kami akan terus berupaya mengenalkan fungsi museum sebagai lembaga pelestarian warisan sejarah dan budaya, edukasi, riset, rekreasi, serta menyebarkan informasinya kepada masyaraka secara luas,” kata Almuniza.

Peningkatan kunjungan wisatawan ke Museum Aceh ini disebabkan berbagai faktor, seperti upaya pemasaran yang intensif, kolaborasi dengan pihak ketiga, dan pengenalan pameran-pameran baru yang unik dan inovatif.

“Kami sangat gembira melihat minat masyarakat dan wisatawan terhadap warisan budaya Aceh yang terdapat di Museum Aceh. Kami terus berusaha untuk menciptakan pengalaman yang bermakna dan mendidik bagi semua pengunjung,” imbuh Almuniza.

Salah satu pameran yang menjadi daya tarik utama pada tahun lalu adalah Pameran Koleksi Filologika se-Sumatera.

Ada 75 koleksi filologika milik 17 museum se-Sumatera ditampilkan dengan panorama yang menawan. Pameran ini diterima dengan sangat baik dan mendapat apresiasi tinggi dari para pengunjung.

Selain itu, program-program edukatif seperti Belajar Bersama Museum, tur berpanduan, dan kegiatan interaktif lainnya juga telah berhasil menarik perhatian kelompok masyarakat yang beragam, termasuk pelajar dan keluarga.

“Peningkatan kunjungan wisatawan ini diharapkan memberikan dampak positif tidak hanya bagi Museum Aceh itu sendiri, tetapi juga untuk industri pariwisata lokal. Kami harap tren positif ini dapat dipertahankan dan dapat menjadi inspirasi bagi museum-museum di kabupaten/kota untuk terus mengembangkan inovasi dan mempromosikan kekayaan budaya yang dimiliki,” pungkasnya. []

5 Museum di Kota Medan, Berisi Barang Bersejarah hingga Satwa

5 Museum di Kota Medan, Berisi Barang Bersejarah hingga Satwa

Kota Medan memiliki beragam destinasi wisata, salah satunya museum. Terdapat beberapa museum di Kota Medan, mulai yang menyimpan benda-benda bersejarah hingga satwa.
Misalnya Museum Uang Sumatera yang berada di Jalan Pemuda, Medan. Di sini terdapat beragam koleksi yang berkaitan dengan uang, bahkan uang koin di zaman penjajahan terdapat di sini.

Selain itu, ada beberapa muesum lain yang ada di Kota Medan. Berikut 5 rekomendasi museum yang wajib kamu datangi di Medan:

1. Museum Negeri Sumatera Utara

Museum Negeri Sumatera Utara terletak di Jalan HM. Joni No. 15, Medan. Peletakan koleksi pertama dilakukan oleh mantan Presiden Ir. Soekarno pada tahun 1954 silam.

Namun, peresmian museum ini baru dilakukan 28 tahun kemudian, tepatnya 19 April 1982. Museum ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Yoesoef.

Di museum ini terdapat berbagai koleksi yang bisa menghantarkan kamu menembus dimensi waktu. Hal itu dikarenakan terdapat koleksi yang mulai dari jejak peradaban kuno di Sumut, perkembangan agama di Sumut, hingga koleksi dari zaman kolonial.

Untuk tahu lebih detail tentang koleksi di museum ini, kamu bisa berkunjung sesuai jadwal di bawah ini:

Jadwal Buka

Selasa-Kamis : 08.00-16.00 WIB
Jumat-Minggu : 08.00-15.30 WIB

Harga Tiket

Orang Dewasa: Rp 10 ribu
Anak-anak : Rp 5 ribu

2. Rahmat Internasional Wildlife Museum& Galerry

Museum khusus satwa ini terletak di Jalan S. Parman No. 309, Medan. Kamu dapat menemukan ribuan satwa di museum ini, satwa tersebut ditempatkan seperti di habitat aslinya.

Museum ini memiliki tiga lantai, di lantai satu terdapat kelompok burung, beruang, hingga binatang asal Afrika. Selain itu, di lantai satu juga terdapat kelompok kambing gunung dan kucing.

Di lantai dua kamu bisa menemukan berbagai jenis satwa lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Di lantai 3 ada bergaram koleksi foto dari aktor film dan olahragawan terkenal dunia, misalnya piringan hitam lagu dari Michael Jackson.

Kamu juga bisa merasakan sensasi berjalan di hutan belantara yang dipenuhi oleh satwa. Untuk menikmati itu semua, kamu bisa datang sesuai jadwal di bawah ini:

Jadwal Buka

Setiap hari: 09.00 -17. 00 WIB

Harga Tiket

Per orang: Rp 75 ribu
Untuk anak di bawah umur 3 tahun, gratis.

3. Museum Perjuangan TNI

Museum yang menyimpan benda-benda bersejarah TNI ini dibuka pada tahun 1971. Museum ini terletak di Jalan KH. Zainul Arifin No. 8, Medan.

Di dalam museum ini, kamu bisa menemukan berbagai macam jenis senjata dan obat-obatan yang digunakan oleh para angkatan bersenjata Indonesia dulu.

Museum ini cocok untuk menambah khasanah tentang sejarah perjuangan TNI masa di masa lalu. Kamu bisa mengunjungi museum ini sesuai jadwal berikut:

Jadwal Buka

Senin-Jumat : 07.00-15.00 WIB
Sabtu-Minggu: bisa dibuka jika ada permintaan

Harga Tiket

Gratis, namun jika ingin berdonasi juga diperbolehkan

4. Museum Situs Kota China

Museum ini terletak di Jalan Kota China No. 65, Medan. Museum ini sebenarnya situs peradaban bangsa Tiongkok di Medan di masa lalu.

Situs ini ditemukan secara tidak sengaja saat pengambilan tanah untuk pembangunan jalan tol Balmera tahun 1986 silam. Saat itu ditemukan arca kuno, yang mulai terkuaknya Kota China ini.

Di museum ini tersimpan artefak-artefak yang bernilai ekonomis dan sarat sejarah. Seperti uang koin, emas, arca, batu-batu candi, pecahan keramik, dan lain-lain.

Jadwal Buka
Kamis, Sabtu, Minggu: 09.00-17.00 WIB

Harga Tiket
Orang dewasa: Rp 8 ribu
Mahasiswa : Rp 5 ribu
SMP & SMA : Rp 4 ribu
Anak-anak : Rp 2 ribu

5. Museum Uang Sumatera

Museum ini terletak di Jalan Pemuda, tepatnya di Gedung Juang 45 Kota Medan. Museum ini merupakan museum uang pertama di Pulau Sumatera, diresmikan tahun 2017 yang lalu.

Sesuai dengan namanya, museum ini menyajikan berbagai benda dan informasi yang berkaitan dengan uang. Terdapat koleksi uang koin mulai dari zaman kerajaan hingga penjajahan di Indonesia.

Selain itu, terdapat juga koleksi uang dari berbagai negara lain. Museum ini merupakan museum yang menyajikan koleksi maupun informasi mengenai uang.

Jadwal Buka
Setiap hari: 09.00-17.00 WIB

Harga Tiket
Per orang: Rp 10 ribu dan kamu dapat souvenir uang kuno.

Menengok Sejarah Pembuatan Bir di Dortmund Jerman

Menengok Sejarah Pembuatan Bir di Dortmund Jerman

Dortmund menjadi tuan rumah semifinal Euro 2024  Belanda vs Inggris pada Rabu, 10 Juni 2024 atau Kamis dini hari waktu Indonesia barat. Kota ini mulai dibanjiri fans yang mengenakan pakaian warna oranye dan merah khas timnas kedua negara.

Kota di Jerman  ini tidak hanya terkenal dengan klub sepakbolanya. Sebagai jantung budaya wilayah Ruhr, Dortmund terkenal dengan batu bara, baja, dan tentu saja bir. Dengan tradisi panjang pembuatan bir, kota ini memiliki museum pembuatan bir, Brewery-Museum Dortmund.

Museum ini menempati ruang mesin dan produksi bekas pabrik bir Hansa yang berada di wilayah Siegerstrasse, sebelah utara pusat kota Dortmund. Di sini, pengunjung bisa belajar tentang sejarah bir, pembuatan, distribusi, sampai promosinya di masa lalu.

Memberikan penghormatan kepada warisan ini dan menelusuri sejarah pembuatan bir komersial, museum ini terdiri dari bar 1920-an, truk bir dari 1922, dan mesin pembotolan dari 1950-an. Koleksi yang dipamerkan merupakan barang asli yang bersejarah.

Pengunjung bisa belajar tentang pabrik bir Dortmund, produknya, dan juga bagaimana mereka bersaing satu sama lain di pasar. Salah satu pameran yang paling menarik perhatian adalah adalah truknya. Truk ini digunakan untuk promosi menjual minuman mereka dan orang yang mengemudikan tur tersebut saat ini adalah staf museum. Truk Krupp dari tahun 1922 ini hanya dibuat 20 unit.

Ruang bawah tanah memperlihatkan tentang cara pembuatan bir sampai metode distribusi dan pengiriman historis menggunakan kereta kudanya yang mengesankan. Bagian akhir dari kunjungan ke museum ini menyoroti cangkir bir, botol bir, dan kaleng yang juga penting untuk pemasaran bir.

Menara U

Satu lagi museum yang terkait bir adalah Menara U atau Dortmunder U. Museum ini mudah dikenali dari bangunannya. Huruf besar U berlapis emas setinggi 9 meter tampak dari kejauhan, berdiri tegak di atas gedung. Huruf ini awalnya merupakan logo perusahaan Union tempat pembuatan bir, tapi kini telah menjadi landmark kota.

Ini adalah gedung tinggi pertama yang dibangun di Dortmund, antara tahun 1926 dan 1927. Union Brewery menggunakan gedung ini untuk fermentasi dan penyimpanan produk mereka.

Namun, bir tidak lagi dibuat di dalam gedung ini. Pada 1994 tempat pembuatan bir dan semua bangunan di sekitarnya ditutup dan dibongkar; hanya Menara U Dortmund yang selamat karena berstatus landmark. Pada Januari 2008, Menara U Dortmund diputuskan untuk dibangun kembali sebagai proyek unggulan untuk “Ruhr 2010 – Cultural Capital of Europe”.

Bangunan ini sudah diubah menjadi pusat seni dan kreativitas, dan telah menjadi bagian penting dari kancah budaya di Dortmund. Ini juga merupakan rumah bagi Museum Ostwall dan koleksi seni modernnya. Di antara lukisan-lukisan tersebut adalah karya Marc Chagall, Paul Klee dan Pablo Picasso.

Sejarah Museum Pos Indonesia

Sejarah Museum Pos Indonesia

Melansir posindonesia.co.id, Museum Pos Indonesia didirikan sejak masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1931. Bangunan museum didesain oleh arsitek bernama J Berger dan Leutdsgebouwdienst.
Mulanya, museum yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda itu dinamai Museum PTT (Pos Telegraf dan Telepon). Koleksi PTT terdiri dari prangko-prangko dari dalam negeri, maupun luar negeri. Pada masa Perang Dunia II, tepatnya saat Indonesia jatuh ke tangan Jepang, PTT menjadi tidak terurus, bahkan nyaris terbengkalai. Setelah Indonesia merdeka, barulah timbul gagasan untuk mendirikan museum pos dan giro. Museum tersebut akan diisi dengan koleksi berupa prangko-prangko dan beragam foto serta peralatan pos yang memiliki nilai sejarah. Untuk mewujudkan gagasan itu, pada 18 Desember 1980, Direksi Perum Pos dan Giro membentuk Panitia Persiapan Pendirian Museum Pos dan Giro. Panitia ini bertugas melakukan inventarisasi dan mengumpulkan benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan perkembangan pos di Indonesia dan layak dijadikan koleksi museum.
Pada 27 September 1982, bersamaan dengan peresmian penerapan Sistem Kode Pos Indonesia untuk keperluan internal Perum Pos dan Giro yang bertempat di ruang lantai dasar Kantor Pusat Perum Pos dan Giro, panitia memamerkan benda-benda bersejarah yang telah dikumpulkan. Satu tahun kemudian, yakni pada 27 September 1983, Museum Pos dan Giro diresmikan oleh Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, Achmad Tahir. Acara peresmian museum bertepatan dengan Hari Bakti Postel ke-38. Sejalan dengan perubahan status perusahaan dari Perusahaan Umum Pos dan Giro menjadi PT Pos Indonesia (persero), nama Museum Pos dan Giro juga diubah menjadi Museum Pos Indonesia. Perubahan nama Museum Pos Indonesia dilakukan pada 20 Juni 1995.

BACA JUGA : PREDIKSI BUNGA MIMPI JITU DAN AKURAT
BACA JUGA : BANDAR TOGEL TERPERCAYA

OKEWLA

OKEWLA

Sejarah Bekas Rumah St. John Bosco Menjadi Museum Kuno Di Turin, Italia

Rekomendasi Museum Angkutan, Sejarah Perkembangan Transportasi Hingga Saat Ini

Ingin berlibur sambil belajar tentang perkembangan transportasi di dunia. Apalagi wisatanya dilakukan bersama keluarga, terutama anak-anak. Anak-anak biasanya suka melihat hal-hal baru dan tanpa disadari telah dipelajarinya, karena pada hakikatnya proses belajar mengajar tidak hanya melalui sekolah saja, namun dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui wisata edukasi seperti di museum.

Mobil Lincoln Mark IV

Salah satu perjalanan yang bisa mewujudkan keinginan tersebut adalah di Kota Wisata Batu Jawa Timur. Destinasi yang cukup favorit di sana adalah Museum Angkut di Kota Baru. Museum ini berada di Jalan Terusan Sultan Agung no.2, Ngaklik, Kota Batu, Jawa Timur. Pemilik destinasi ini adalah Jatim Park Group yang juga mengelola Jatim Park 1 dan Jatim Park 2.

Museum Angkut di Kota Batu

Ingat, Museum Angkut ada di Kota Wisata Batu, bukan Kota Malang yang secara administratif berbeda. Memang dekat dan kedua kota itu bersebelahan, tapi masalahnya kalau tersesat akan menambah biaya. Persoalannya banyak yang salah sangka mengenai posisi tujuan Museum Angkut.

Bisa dibilang pariwisata Jawa Timur sedang naik daun. Selain Kota Batu, ada Kabupaten Jember dengan Jember Festival Carnaval yang sangat terkenal, dan Kabupaten Banyuwangi dengan destinasi Ijen Blue Fire yang cukup viral. Ketiga daerah ini kini terus meningkatkan fasilitas wisata sehingga menarik wisatawan lokal dan mancanegara.

Mobil klasik di Museum Angkut

Untuk mencapai Museum Angkut yang luasnya 3,8 ha dari kota Apel Malang ini bisa menggunakan angkutan umum atau bisa menggunakan angkutan online. Jika ingin menggunakan angkutan umum bisa menggunakan angkot ADL menuju terminal Landungsari. Dari sini naik lagi angkot warna pink ke Terminal Batu, lalu naik angkot lagi ke Museum Angkut di jalan Sultan Agung.

mobil antik koleksi Museum Angkut, Kota Batu

Bagi yang naik kereta api dari tempat lain di luar Malang, misalnya berangkat dengan kereta api dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta atau daerah stasiun lainnya, bisa berhenti di stasiun Malang dan dilanjutkan naik angkot ADL sampai terminal Landungsari, lalu naik kereta warna pink angkot ke Terminal Batu. Dari sini naik angkot lagi menuju Museum Angkut.

Areal Museum Angkut sangat luas yang terbagi menjadi 10 Zona, masing-masing zona mempunyai cerita dan tema tersendiri. Oleh karena itu, untuk menjelajahi Musim Angkutan harus datang dari pagi hari karena tidak cukup jika hanya menghabiskan waktu satu atau dua jam saja. Rugi rasanya jika tidak bisa menikmatinya secara maksimal.

Mobil Lincoln Mark IV

Terdapat beberapa tema yang menggambarkan perkembangan teknologi transportasi dan teknologi transportasi tahun 80an hingga saat ini serta sarana transportasi di masa depan.

Tema yang diangkat adalah tema transportasi era 80an, transportasi pesawat terbang, mobil modern, transportasi di UK (Inggris), transportasi Tiongkok, kawasan gangster, kawasan Las Vegas dan transportasi kereta api klasik. Setiap tema memberikan suasana dan nuansa berbeda.

mobil antik

Di Museum Angkut ini kita juga dibawa pada suasana transportasi pada masa lalu, dimana banyak ditemukan dan digunakan alat transportasi baru. Seperti ada rel kereta api, kereta uap, kereta diesel dan juga ada juga yang modern seperti yang kita lihat saat ini yaitu kereta api listrik. Pemandangan yang akan ditampilkan tidak hanya sekedar pameran alat-alat tajam kuno saja, namun suasana yang tercipta benar-benar mirip dengan kondisi pada masa awal transportasi.

Begitu pula dengan kapal atau perahu yang merupakan alat transportasi air. Sejak awal penggunaan kapal laut sebagai alat transportasi. Seperti halnya kapal atau perahu yang menggunakan layar atau perahu yang masih mendayung misalnya, ada cerminan dari kapal jung dari Tiongkok yang banyak digunakan oleh dinasti atau kerajaan Tiongkok untuk menuju ke Nusantara.

Selain menikmati suasana dan bisa mengetahui penyadapan transportasi, kita juga bisa naik kereta mini, merasakan seperti berada di dalam pesawat, naik perahu sambil menyusuri sungai buatan yang sejuk dan hijau, mencoba menaiki andong. atau kereta kuda, rasakan berada di dermaga kapal penumpang, dan rasakan juga sensasinya. naik kapal dan rasakan suasana jual beli di atas kapal. Bagi anak-anak yang ingin menjadi pilot, tersedia juga simulator untuk mengendalikan pesawat.

Di dalam Museum Angkut juga terdapat telaga buatan yang berisi perahu-perahu yang berjualan di atas air, mirip dengan yang ada di Pasar Terapung Lembang Jawa Barat, hanya saja disini luas perairannya lebih kecil karena merupakan telaga buatan. Nama kawasan perairan ini disebut Pasar Apung Nusantara.

Jangan lupa untuk melewati Zone 7 yang terdapat British Area karena kita akan mendapatkan suasana yang sangat berbeda. Kita seolah memasuki dunia lain di Inggris dengan kondisi jalan raya, berbagai bangunan dan moda transportasi yang ada disana, ditambah lagi bisa berfoto di replika Istana Buckingham. Bagi yang hobi selfie, rugi kalau melewatkan kawasan ini.

Saat berwisata edukasi, Anda bisa mencoba beberapa kuliner khas di replika kapal Cheng Ho yang dijadikan restoran. Di sini kita bisa menikmati santapan sambil melihat suasana di atas kapal Cheng Ho, seorang laksamana legendaris asal Tiongkok.

Hal menarik lainnya ada juga kawasan Holiwood dengan berbagai mobil klasik, lalu ada suasana serupa di Las Vegas, ada juga replika Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Sebenarnya banyak hal yang bisa diceritakan tentang Museum Angkut, namun nanti jika diceritakan semuanya tidak lagi seru, silakan jelajahi sendiri dan nikmati suasana di sana.

Link Terkait :

Museum Sains B M Birla Yang Diresmikan Oleh Sri M

Museum Sains BM Birla

Museum Sains BM Birla dibangun pada tahap kedua pembangunan kompleks tersebut. Diresmikan oleh Sri M. Chenna Reddy, Ketua Menteri Andhra Pradesh saat itu pada tanggal 15 Maret 1990, ini adalah fasilitas unik yang mencakup Pusat Sains Interaktif, Museum Arkeologi dan Boneka, Galeri Nobel, Diorama Antartika, Diorama Dwaraka, Galeri Penginderaan Jauh , Eksperimen Simulasi, Museum Luar Angkasa dan Dinosaurium (bagian paleontologi dan fosil).

Museum ini secara rumit memamerkan pencapaian negara di bidang sains, bekerja sama dengan departemen Pemerintah India seperti Departemen Pengembangan Kelautan, Organisasi Penelitian Luar Angkasa India, Survei Geologi India, Kementerian Sains dan Teknologi NANA4D, dan banyak lainnya.

Galeri yang akan datang sedang dikembangkan bekerja sama dengan beberapa organisasi nasional dan internasional lainnya.

Museum sains memiliki pameran yang luas mulai dari paleontologi dan penggalian kelautan hingga simulasi eksperimen langsung, penginderaan jauh, dan sejumlah metode dan prinsip ilmiah lainnya. Masing-masing dijelaskan di berbagai bagian museum untuk memudahkan pemahaman.

Pameran Pusat Sains Interaktif dirancang, dikembangkan, dan dibuat sendiri. Museum Sains BM Birla memberikan dukungan kepada institusi lain yang ingin mendirikan Pusat Sains, Taman Sains, galeri sains tematik, dan klub sains dengan cara menyediakan pameran dan melatih staf tentang pengoperasian dan pemeliharaan pameran dan program penjangkauan di bawah ‘Proyek Sains’ program Situs Toto. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi komunitas mana pun untuk mendorong pengembangan masyarakat ilmiah yang kompeten, yang sangat penting bagi kemajuan negara berkembang.

Pendidikan sains dan kesadaran ilmiah seringkali kurang di negara-negara berkembang. Pendidikan sains tidak efektif sebagaimana dibuktikan dengan tidak adanya inovasi dan terobosan teknis serta rendahnya jumlah makalah dan kutipan ilmiah. Tingkat kesadaran ilmiah secara umum juga buruk.

Pameran di Pusat Sains Interaktif mengungkap ilmu pengetahuan dan menciptakan keingintahuan serta antusiasme pengunjung terhadap keajaiban dan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tujuan utama dari pameran interaktif adalah untuk memberikan pengunjung pengalaman langsung mengenai sains dan membuat mereka ‘melihat’ dan ‘melakukan’ konsep-konsep sains dan pada gilirannya memahaminya. Edutainment adalah kata kunci dalam seluruh pameran dan aktivitas di sini. Pameran ini memaparkan konsep-konsep dasar sains yang dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami fenomena yang lebih kompleks.

Tautan Terkait :

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

okewla

Sejarah Museum DakshinaChitra di Chennai, Ini Ceritanya

Sejarah Museum DakshinaChitra di Chennai, Ini Ceritanya
Henschelsindianmuseumandtroutfarm.com – DakshinaChitra, sebuah proyek dari Madras Craft Foundation, menyatukan warisan lima negara bagian India Selatan dan berbagai budaya mereka di kampus luar biasa yang berupaya mendefinisikan kembali museum sebagai pengalaman hidup seni pertunjukan dan visual, kerajinan, arsitektur, masakan dan ‘belajar sambil melakukan’. Artikel ini menggambarkan perjalanan yang sangat pribadi selama lima dekade pendiri DakshinaChitra, Deborah Thiagarajan. Sesampainya di Chennai (saat itu Madras) sebagai pengantin dari seorang pemimpin perusahaan dan sebagai seorang sarjana, dia segera tertarik pada kerajinan tangan dari desa terdekat.
Memahami tantangan penghidupan masyarakat pedesaan yang terpinggirkan segera mengarah pada pendirian bisnis ekspor sebagai salah satu cara untuk mendukung keterampilan yang terancam punah dan memulihkan apresiasi dan rasa hormat terhadap pengrajin di wilayah tersebut. Pengalaman bisnis langsung ini terbukti berguna karena beasiswa Deborah Thiagarajan menunjukkan adanya kebutuhan institusional yang dapat mendukung kegiatan seni dan penelitian budaya serta menjangkau generasi muda dengan ‘museum’ yang dirancang ulang. Ide DakshinaChitra mulai berkembang, dan dengan itu terdapat sejumlah tantangan pengelolaan yang harus diatasi. Artikel ini menjelaskan upaya untuk mendapatkan lahan dan pendanaan, serta membangun kapasitas pengelolaan sebuah tim kecil yang berdedikasi dalam menyusun proposal dan melakukan negosiasi dengan pihak berwenang, donor, pemangku kepentingan di sektor ini, dan masyarakat. Mitra dan relawan yang memahami visinya memperjuangkan interaksi penulis dengan pendidik, arsitek, desainer, pembangun, dan pengrajin.
Mereka bekerja dengannya sebagai sebuah tim untuk menghadirkan ke DakshinaChitra—bata demi bata dan elemen demi elemen—struktur warisan dari setiap negara bagian di wilayah tersebut, yang diciptakan kembali di sini sebagai pengalaman andalan DakshinaChitra: bangunan-bangunan tua dihidupkan dalam suasana baru, dengan semua elemen yang ada. bersama-sama merupakan warisan sebagai kenangan dan kehidupan, yang menggarisbawahi relevansi kebijaksanaan masa lalu dengan kebutuhan saat ini. Artikel ini menelusuri perjalanan selama 12 tahun untuk mewujudkan visi ini, dan pengetahuan manajemen yang harus diperoleh selama perjalanan tersebut—termasuk keuangan, penganggaran, pemasaran, hubungan donor, penggalangan dana, kerangka hukum, dan SDM—menuju kemandirian. perusahaan budaya yang kini ditantang oleh pandemi COVID. Artikel ini mencakup panduan bagi mereka yang mungkin melakukan usaha serupa. Pengelolaan warisan budaya muncul di sini sebagai kapasitas untuk menyatukan disiplin ilmu dan semangat bersama untuk melindungi kualitas sebuah visi dengan pragmatisme, keterampilan praktis, kerja sama tim, stamina, dan harapan abadi.

Tahun-Tahun Awal: Inspirasi, Penelitian dan Kajian

Pada tahun 1972, ketika duduk di rumah seorang penenun di sebuah desa di bagian barat Tamil Nadu, setelah mewawancarai istrinya untuk proyek nutrisi resmi, saya mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan keterampilan menenun dan estetika desa ini di masa depan. Sebagai orang Amerika yang baru dua tahun berada di India, saya terpesona oleh tekstil yang indah, karya plesteran dan pahatan yang rumit di kuil, serta ukiran pada tiang beranda dan pintu depan rumah. Namun yang terpenting, saya terpesona oleh kemurahan hati dan semangat orang-orang yang tinggal di rumah paling sederhana sekalipun. Selama tiga tahun saya bekerja di desa, saya mulai mencintai India.
Pada tahun 1975, saya, suami saya, Raj, dan putri kecil saya, Tara, meninggalkan Coimbatore untuk menetap di Madras (sekarang Chennai) dan saya memulai sebuah perusahaan ekspor garmen menggunakan tekstil tenunan tangan yang diproduksi di sekitar Coimbatore, Karur dan Erode—sebuah perusahaan yang saya lanjutkan untuk lima tahun. Suami saya berasal dari komunitas pedagang Nattukottai Chettiars, yang terkenal dengan rumahnya yang besar seperti istana di desa Chettinad, timur laut kota kuil Madurai yang terkenal. Kunjungan ke keluarga dan kerabat suami saya di Chettinad memperkenalkan saya pada ukiran kayu dan batu yang indah, pembuatan ubin dan lukisan—semua kerajinan yang digunakan sebagai bagian integral, struktural dan dekoratif dari rumah pedagang Chettinad. Perjalanan melalui Kerala dan Karnataka semakin memperdalam pemahaman saya tentang keterampilan tangan yang luar biasa ini dengan orientasi estetika khusus untuk setiap wilayah.
Amerika Serikat adalah negara yang cepat berubah, dan hal ini menjadi jelas pada akhir tahun 1970an bahwa India berada di titik puncak perubahan dan dengan adanya modernisasi, banyak tradisi estetika yang mungkin berubah, atau bahkan hilang. Pada saat itu, keterampilan dan kerajinan tangan ini sangat diremehkan dan tidak diperhatikan oleh masyarakat umum.
Para pengrajin tidak dihargai dan kurang dihormati. Saya merasa sesuatu harus dilakukan untuk melestarikan tradisi-tradisi ini dan menyadarkan masyarakat akan nilai tradisi-tradisi tersebut. Apa cara yang lebih baik selain menempatkannya di museum, di lingkungan kelas atas, untuk menyadarkan masyarakat akan nilai tradisi mereka?
Saya belum menyadari bahwa peran mendirikan museum akan datang kepada saya. Saya selalu menyukai museum dan mengunjunginya ke mana pun saya pergi. Seiring dengan latar belakang saya di bidang antropologi, saya memiliki landasan dasar dalam sejarah seni. Meskipun berguna, hal ini terbatas pada sejarah seni barat. Dengan dorongan dari teman-teman, saya berpikir untuk membentuk sebuah komunitas yang tidak hanya mendirikan museum tetapi juga membantu membawa kesenian dan pertunjukan rakyat ke sekolah-sekolah. Pada bulan Maret 1984, saya mendirikan Madras Craft Foundation (MCF) dengan pendirian museum sebagai tujuan utamanya. Kami adalah tujuh wali tanpa uang, tanpa koleksi, dan tanpa tanah!
Untuk meningkatkan kredibilitas saya dan mendapatkan lebih banyak pemahaman tentang seni India, saya mendaftar di Universitas Madras untuk mendapatkan gelar PhD dalam budaya dan sejarah India kuno. Lebih dari setahun kemudian, saya memenangkan beasiswa ke Universitas Pennsylvania di mana saya menyelesaikan gelar MA dalam studi Asia Selatan, menghadiri satu semester dalam setahun selama lima semester. Di Penn, saya juga bekerja di museum mereka yang terkenal, belajar sebanyak mungkin tentang cara kerja museum. Saya pergi ke Washington DC untuk mengikuti kursus gratis Smithsonian Institute untuk administrator museum. Saya segera menyadari pentingnya penggalangan dana, yang terbukti sangat berharga bagi pendirian Museum DakshinaChitra.

Membangun Institusi

Dua bulan setelah pendaftaran perkumpulan kami, pada tahun 1984, saya diminta menjadi penyelenggara pendirian Perwalian Nasional untuk Warisan Seni dan Budaya India (INTACH) cabang Tamil Nadu. Kesempatan itu memberi saya akses ke ₹25.000 per tahun sebagai uang awal, yang saya gunakan untuk menyewa seorang kolega, VR Devika (dengan harga ₹1.200 per bulan) untuk membantu MCF menghadirkan seni dan pertunjukan ke sekolah, demi kepentingan siswa dan guru. . Pengalaman ini merupakan pengenalan yang sangat berharga terhadap gambaran besar seni India dan orang-orang yang berpikiran sama yang bekerja untuk melestarikannya. Saya sangat berhutang budi kepada mendiang Martand Singh, pendiri INTACH, yang menyemangati dan menasihati saya serta selalu ada saat saya membutuhkannya sepanjang perjalanan panjang. Saya juga diperkenalkan dengan desainer Dashrath Patel dan rekannya, penari Chandralekha, keduanya tinggal di Madras. Saya menghabiskan banyak sore hari bersama mereka, belajar, berdiskusi dan mempertanyakan asumsi dan gagasan saya tentang museum. Dashrath sangat terbuka untuk berbagi ilmu dan dia menemani saya dalam beberapa perjalanan penelitian melalui Kerala. Hanya dalam retrospeksi saya menyadari betapa berharganya asosiasi ini bagi keberhasilan DakshinaChitra (yang secara harafiah berarti ‘gambaran Selatan’), yang menawarkan kebijaksanaan dari para ahli seni terbaik dan paling berdedikasi dari seluruh dunia. India.
Pada awal tahun 1991, lebih dari enam tahun setelah pendirian MCF, dan setelah upaya yang besar dan berkepanjangan, kami akhirnya diberikan tanah seluas 10 hektar oleh pemerintah Tamil Nadu. Saya telah menghabiskan enam tahun mencari tanah di kota, pertama dengan akademi tari Kalakshetra dan kemudian dengan otoritas negara. Namun, ketika saya melihat daratan, 27 kilometer selatan Madras, di sepanjang Teluk Benggala, saya menyadari bahwa ini adalah lokasi yang sempurna untuk dijadikan museum sebagai pengalaman hidup. Luasnya memungkinkan saya memperluas visi museum dengan memasukkan tempat tinggal para pengrajin dan rumah bersejarah berskala penuh untuk mewakili budaya khas India Selatan. Tanah tersebut diberikan kepada Yayasan dengan sewa jangka panjang. Pada tahun 1991, nilainya adalah ₹100.000 per hektar, dan pada tahun 2021 nilainya sekitar ₹1,00,00,000 per hektar! Tidak memahami potensi lahan di selatan kota metropolitan kini saya anggap sebagai kesalahan terbesar saya. Namun, kenyataannya kami tidak memiliki ₹1.000.000 yang kami perlukan saat itu. Syukurlah, sejauh ini pemerintah Tamil Nadu sangat baik kepada kami.
Dengan adanya lahan, kami akhirnya dapat memulai tindakan dan menindaklanjuti usulan kami kepada pemerintah mengenai kebutuhan dana modal untuk memulai pembangunan. Selama tahun-tahun tersebut, kami telah menulis proposal dan menerima dana hibah untuk penelitian kerajinan tangan, seni pertunjukan rakyat, dan yang paling penting, arsitektur vernakular. Dengan pengetahuan yang kami peroleh, kami juga menggalang dana untuk mengadakan acara besar pertama—festival selama seminggu untuk merayakan Kerala, menampilkan pameran bergaya museum, penjualan dan pameran kerajinan tangan, serangkaian konser musik klasik, dan beberapa malam seni pertunjukan Kerala yang indah. Ini bahkan termasuk prosesi dengan seekor gajah. Pameran ini merupakan cetak biru dari apa yang nantinya akan kita capai dalam skala yang lebih besar.

Sebuah Tim Membawa Konsep ke Kenyataan

Museum DakshinaChitra dibangun selangkah demi selangkah. Konsep keseluruhannya berkembang selama tahun-tahun yang panjang itu, dari tahun 1984 hingga awal konstruksi pada tahun 1991 dan hingga pembukaan museum pada bulan Desember 1996. Saat saya meneliti kerajinan, seni pertunjukan rakyat, dan arsitektur selama tahun-tahun tersebut, saya memperoleh pengalaman, pengetahuan. dan pemahaman tentang kemungkinan-kemungkinan lokal, serta keyakinan bahwa, ya, kita dapat mencapai apa yang dulunya tampak sebagai tujuan yang jauh. Tidak ada hal besar yang bisa dicapai sendirian. Banyak orang yang mendukung gerakan ini sebagai sukarelawan, masing-masing berbagi keahliannya. Saat kami membuka DakshinaChitra, kami menerbitkan sisipan di publikasi pertama kami yang mencantumkan semua orang yang telah membantu—jumlahnya mencapai lebih dari 100 orang.
Wali amanat kami adalah aset terbesar kami. Gita Ram, yang kini mengepalai Dewan Kerajinan India, adalah mitra saya pada tahun-tahun awal itu.
Indira Kothari mendukung dengan segala niat baiknya. MV Subbiah, yang akhirnya menjadi ketua grup Murugappa yang bernilai miliaran dolar, adalah bendahara kehormatan kami selama 20 tahun. Dr Malcolm Adhiseshiah, yang pernah menjadi direktur UNESCO, mendukung dan memahami sepenuhnya upaya kami. Setelah beliau meninggal, bimbingan datang dari Dr M. Anandakrishnan, mantan Wakil Rektor Universitas Anna dan seorang pendidik yang luar biasa. Saya selalu merasa bahwa lebih banyak otak lebih baik daripada satu, dan saya selalu mendengarkan dengan cermat banyak suara di sekitar saya, mempelajari semua yang saya bisa dari orang lain. Dalam menerapkan konsep ini, saya secara khusus merasa perlu untuk mengandalkan pendapat orang-orang di sekitar saya yang mewakili komunitas yang ingin kami rayakan dan layani. Namun suara saya harus bersifat netral, mampu berdiri di samping dan mempertimbangkan berbagai pendapat. Tujuan awalnya adalah menjadi museum yang benar-benar inklusif. Pemangku kepentingan prioritas kami mencakup pengrajin dan seniman pertunjukan rakyat, dan saya ingin memastikan bahwa komunitas yang lebih luas di negara bagian India Selatan benar-benar terwakili.

Tanda Tangan: Penelitian dan Demonstrasi dalam Arsitektur Vernakular

Selama delapan tahun penelitian arsitektur yang panjang, dua rumah untuk masing-masing empat negara bagian di India Selatan, kami memutuskan untuk memilih rumah yang mewakili rumah kelas menengah yang dapat ditemukan di wilayah dengan sekitar 80–100 desa. Pencarian rumah-rumah ini memakan waktu bertahun-tahun, karena kami memutuskan untuk hanya mengambil rumah-rumah yang ditandai untuk dibongkar. Untuk mendapatkan rumah yang kami butuhkan, kami bekerja sama dengan kontraktor yang menghancurkan rumah-rumah tua dan menjual kembali kayunya. Sebelum membongkar rumah-rumah tersebut, kami memotret setiap bagiannya, melakukan pengukuran penuh dan menggambar garis, dan juga memberi nomor pada setiap potongan kayu dan batu di setiap struktur untuk memudahkan pemuatan, pembongkaran, penyimpanan dan, akhirnya, membangun kembali setiap rumah.
Namun bagaimana cara membangun dan merencanakan pusat tersebut? Untuk ini, saya beralih ke Laurie Baker yang legendaris, arsitek yang terkenal karena memasukkan teknik vernakular ke dalam karyanya. Baker dengan sukarela merencanakan kampus untuk kami, tanpa dipungut biaya. Dia menyusun rencana umum, yang telah kami ikuti secara luas sejak saat itu, dan juga merancang beberapa bangunan umum. Dia adalah pria luar biasa dengan semangat hidup, selera humor yang selalu ada, dan keahlian serta dedikasi luar biasa terhadap keahliannya. Seluruh museum merupakan penghormatan kepadanya, karena cita-cita dan visinya terhadap arsitektur serta tukang batu dan tukang kayu selalu membimbing kita. Baker memperkenalkan saya kepada Benny Kuriakose, yang sekarang adalah seorang arsitek terkenal, yang pertama kali bepergian bersama saya melalui Kerala sebagai lulusan baru teknik sipil. Benny telah dikaitkan dengan DakshinaChitra sejak awal, merancang hampir semua bangunan publik, dan membimbing kita dalam pertanyaan arsitektur dan struktural serta desain bangunan masa depan.

Menafsirkan Pengalaman Hidup

DakshinaChitra mendapat dukungan dari penduduk kota Chennai serta wisatawan, baik India maupun asing. Salah satu alasan kami populer adalah karena selalu ada sesuatu yang baru: acara atau pertunjukan yang dapat diikuti oleh pengunjung. Atraksi tersebut dapat berupa pameran seni baru dengan seniman yang hadir untuk bertemu dengan pengunjung, atau kesempatan untuk ikut serta dalam tarian rakyat atau menonton pertunjukan boneka. Untuk anak-anak, kami memiliki hampir 20 aktivitas praktis berbeda yang dapat mereka lakukan, masing-masing diselenggarakan oleh fasilitator terlatih yang juga mengambil tanggung jawab rumah tangga. Pengrajin DakshinaChitra meluangkan waktu untuk mendemonstrasikan atau bekerja sama dengan pengunjung di bengkel kerajinan. Pembuat tembikar dan keramik kami ada khusus untuk pengunjung, begitu pula peniup kaca yang datang pada akhir pekan. Sebuah film orientasi memperkenalkan pentingnya arsitektur serta ritual dan kepercayaan penting di India selatan. Kami menyelenggarakan seminar, mengerjakan penelitian dan video, serta merencanakan berbagai acara berbeda yang dapat menjadi insentif bagi berbagai komunitas untuk datang, mengunjungi, dan menemukan kembali asal usul mereka. Pada awalnya, banyak pengunjung yang berusia lebih tua dan dapat memahami rumah kami dari pengalaman masa kecil mengunjungi kakek-nenek mereka. Saat ini, sebagian besar pengunjung dewasa kami adalah anak-anak muda dan tampak ingin tahu tentang masa lalu mereka. Program pendidikan dan lokakarya merupakan komponen kunci dari museum.
Jalan DakshinaChitra masih panjang, dan mungkin akan selalu begitu. Zaman berubah dan menuntut pendekatan baru seiring dengan perubahan ekspektasi pengunjung. Teknologi dan pendekatan yang digunakan museum juga terus berubah, dan mudah-mudahan kita bisa cukup gesit untuk mengimbanginya. Saya sering ditanya apa yang kami lakukan untuk membuat DakshinaChitra sukses. Saya telah membuat daftar beberapa keputusan penting yang kami ambil selama perjalanan kami, yang menurut saya, memungkinkan keberhasilan dan keberlanjutan museum hingga saat ini.

Pengelolaan Warisan: Pembelajaran Apa yang Didapat dari Pengalaman DakshinaChitra?

Masuk lebih dalam ke dalam komunitas: Pembelajaran pertama adalah masuk lebih dalam ke dalam komunitas untuk menemukan orang-orang yang berpikiran sama dan memiliki antusiasme yang sama terhadap proyek ini. DakshinaChitra tidak mungkin dibangun tanpa para sukarelawan yang berdedikasi, yang terus mendukungnya hingga saat ini. Relawan mungkin memerlukan pendampingan dan fokus. Manfaatkan kekuatan mereka, dan selalu hargai serta berikan penghargaan publik atas bantuan mereka.
Dewan pengurus harus dipilih dengan sangat hati-hati: Mereka ada untuk membimbing dan memberikan kredibilitas organisasi, bagi masyarakat serta calon donor dan otoritas resmi.
Kendalikan keuangan: Kendalikan keuangan dengan sistem dan akuntansi yang tepat, secepat mungkin. Setelah berjuang selama beberapa tahun dengan orang-orang di bidang akuntansi yang berbeda-beda, kami akhirnya menemukan seorang sukarelawan yang hebat, seorang pensiunan akuntan dan akuntan biaya. Dia menyederhanakan semua akun kami dan bekerja dengan programmer kami untuk mendigitalkan semua akun DakshinaChitra. Hasilnya, sebuah lembaga warisan budaya memiliki salah satu sistem akuntansi digital paling awal dan terbaik di Chennai!
Penganggaran: Mintalah masing-masing bagian atau departemen menyiapkan perkiraan sistem pendapatan dan pengeluaran sepanjang tahun, dengan rincian berdasarkan bulan. Kemudian, telitilah untuk melihat seberapa realistisnya dan modifikasi jika diperlukan. Jika kepala departemen Anda menyiapkan anggaran mereka sendiri, mereka harus memiliki anggaran tersebut dan harus bertanggung jawab secara ketat atas pengeluaran mereka serta untuk meningkatkan pendapatan. Jika memungkinkan, kami menjadikan setiap bagian sebagai pusat biaya dan surplus: departemen pendidikan, wisma tamu, toko kerajinan, restoran, program wisata budaya, pusat keramik, dan laboratorium konservasi. Anggaran bulanan menentukan arus kas dan membantu seseorang mengetahui posisi keuangan secara pasti hingga ke detail terkecil.
Tetapkan sistem manajemen, sejak awal: Sistem paling awal yang kami terapkan adalah tata graha, bahkan sebelum pusat tersebut dibuka. Relawan lainnya, Lalitha George, adalah seorang pengurus rumah tangga senior di sebuah hotel bintang lima. Dia mengatur semua sistem kami: apa yang harus dilakukan setiap hari, mingguan, dan bulanan. Dia menjelaskan peralatan apa yang dibutuhkan setiap orang. Dia meminta kami mempekerjakan staf dari sebuah hotel untuk memantau dan melatih pengurus rumah tangga DakshinaChitra. Kami merekrut sebagian besar pembantu rumah tangga awal kami dari kalangan pekerja konstruksi di lokasi kami. Kami merotasi pengurus rumah tangga di dalam kampus dan setiap pengurus rumah tangga bergiliran membersihkan kamar mandi. Kamar mandi dan toilet umum sangat penting untuk tata graha dan kesan publik. Saya harus memaksakan hal ini untuk menjadikan kamar mandi setara dengan kebersihan di pusat lainnya. Ini berhasil, dan saat ini tidak ada yang mempertanyakannya. Pengurus rumah tangga DakshinaChitra dihormati sebagai staf museum.
Mereka tidak hanya membersihkan rumah, tetapi setiap pagi mereka juga menggambar desain Kolam tradisional di depan rumah mereka sebagai ritual penyambutan. Mereka juga membantu menjawab pertanyaan pengunjung dalam bahasa lokal Tamil dan mengawasi keamanan. Ketika DakshinaChitra memperkenalkan kegiatan untuk pengunjung, kami melatih pembantu rumah tangga kami dalam bidang kerajinan sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan ini. Oleh karena itu, pengurus rumah tangga kami menghayati budaya yang disajikan, menambah nilai luar biasa pada keaslian dan pengalaman hidup DakshinaChitra.
Seorang wakil presiden senior sebuah perusahaan multinasional, yang pensiun dini karena masalah kesehatan, dengan sukarela membantu urusan administrasi. Dia pertama-tama memeriksa semua file kami, memeriksa cara kami beroperasi, dan menetapkan aturan serta menentukan peran. Sebagai seorang insinyur, dia mempelajari semua sistem penggunaan kapur, bahan yang kami gunakan pada awalnya untuk bangunan. Ia membantu pembangunan awal dengan membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Hal ini membebaskan saya untuk fokus pada perencanaan program dan konsep, yang merupakan keahlian terbaik saya. Sayangnya, dia meninggal jauh sebelum kami buka, tapi dia telah menunjukkan kepada kami cara mengatur pekerjaan kami. Kami juga beruntung karena presiden Larson & Toubro, perusahaan konstruksi raksasa saat itu, merekomendasikan, dan menurut saya meyakinkan, salah satu insinyur paling seniornya yang baru saja pensiun untuk mengambil alih konstruksi di kampus.
Survei pengunjung: Survei membantu kami memahami apa yang diinginkan dan disukai pengunjung tentang DakshinaChitra dan perbaikan apa yang mereka sarankan. Survei pertama kami menunjukkan bahwa pengunjung tidak ingin sekadar melihat . Mereka menginginkan pengalaman dan ingin terlibat aktif dalam melakukan sesuatu. Jadi, kami memperkenalkan 20 aktivitas kerajinan tangan yang dapat dilakukan siapa saja dengan sedikit pembayaran. Insentif dari penghasilan ini diberikan kepada setiap pengurus rumah tangga yang mempraktikkan keahlian tersebut, sehingga membantu membangun popularitas. Kami kemudian mengadakan bazar kerajinan dan mengundang pengrajin untuk datang dan menjual kerajinan mereka. DakshinaChitra tidak memungut komisi tetapi membebankan sejumlah kecil biaya untuk pemeliharaan ruang dari sekitar 20 pengrajin yang hadir sepanjang tahun. Kami juga memiliki banyak program setiap tahun yang mencerminkan minat dan preferensi pengunjung.
Penggalangan Dana: Penggalangan dana tidaklah mudah; ini penting dan harus direncanakan dengan baik. Di India, penggalangan sumber daya untuk kegiatan warisan budaya masih dalam tahap awal. Penggalangan dana masih berfungsi terutama pada kontak pribadi, namun hal itu hanya akan membawa Anda sejauh ini. Di Amerika Serikat, setiap museum memiliki departemen pengembangan penuh dengan staf yang berdedikasi untuk menulis proposal, bekerja sama dengan pemerintah untuk mendapatkan hibah, dan membangun hubungan dengan perusahaan dan yayasan. Mereka semua terus-menerus melakukan penelitian, membangun jaringan untuk menjalin dan memperluas kontak. Mereka dengan cermat meneliti perusahaan mana yang tertarik mensponsori pameran jenis apa.
Setelah mereka mengidentifikasi perusahaan dan orang yang merupakan pengambil keputusan utama (biasanya CEO atau ketua jika jumlahnya besar), maka mereka pergi ke dewan direksi atau teman baik museum untuk bertemu orang tersebut, mungkin saat makan siang, untuk mendiskusikan kemungkinan sumbangan. Dari tahun 1991 hingga 2001, saya dan semua sukarelawan kami yang berdedikasi menghabiskan banyak waktu untuk menggalang dana. Saya harus melakukan banyak perjalanan ke New Delhi ke Kantor Komisaris Pembangunan (Kerajinan Tangan) sebelum akhirnya mereka memberikan hibah yang merupakan pendanaan pertama kami. Saya meyakinkan mereka bahwa kami akan mengumpulkan setidaknya satu rupee dari masyarakat untuk mencocokkan setiap rupee yang mereka berikan kepada kami. Pada gilirannya, saya mengatakan kepada calon donatur kami, biasanya korporasi, bahwa setiap rupee yang mereka berikan bernilai dua rupee. Leveraging tersebut merupakan situasi win-win. Kami berhasil mengumpulkan ₹10.600.000 dari pemerintah dan lebih dari ₹30.000.000 dari donor untuk membangun pusat tersebut.
Hibah: Sebuah keberuntungan besar adalah mengetahui bahwa Ford Foundation telah memasuki bidang budaya dan tertarik untuk membantu pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendukung seni pertunjukan rakyat kaya dan tradisi lisan di India. Ford memberi DakshinaChitra dana untuk mempekerjakan staf dengan kontrak tiga hingga empat tahun, yang diperpanjang dengan hibah berikutnya. Mereka juga memberikan dana untuk program-program, dan hal ini mengawali hubungan mendalam kami dengan kesenian rakyat, dan kemampuan untuk meneliti kelompok-kelompok dan membawa mereka untuk tampil di museum. Stabilitas awal yang diberikan oleh Ford Foundation sebagai jaminan umur panjang institusi sangatlah penting, dan untuk hal ini, institusi tersebut sangat berhutang budi karena visi dan pemahaman seperti ini jarang terjadi. Akan sangat ideal jika yayasan, penyandang dana, dan patron perusahaan dapat menyesuaikan tujuan pemberian dana mereka lebih dari sekedar dana saat ini untuk membantu membangun masa depan organisasi melalui visi jangka panjang.
Sama seperti seorang anak yang membutuhkan pendidikan bertahun-tahun sebelum mereka dapat menjadi produktif sepenuhnya, demikian pula sebuah organisasi yang baru lahir harus, seperti seorang anak kecil, mulai merangkak dan seiring berjalannya waktu belajar berjalan dan kemudian berlari. Ford Foundation membantu kami hingga kami memiliki cukup pengunjung dan aktivitas yang menghasilkan pendapatan lainnya untuk membantu mempertahankan aktivitas. Pada tahun 2008, 12 tahun setelah pembukaan kami pada bulan Desember 1996, kami menjadi mandiri. Ford juga menuntut rincian keuangan lengkap, termasuk proyeksi pendapatan dan pengeluaran lima tahun. Tuntutan tersebut juga merupakan pengalaman berharga dalam manajemen.
Pengelolaan keuangan yang cermat selama bertahun-tahun telah membantu kami menciptakan korpus lebih dari ₹50.000.000, ditambah sejumlah cadangan di akun pendapatan DakshinaChitra. Cadangan tersebut telah membantu menyediakan dana untuk membayar 69 gaji penuh staf mereka selama tahun pertama pandemi COVID ketika DakshinaChitra harus tutup selama sembilan bulan yang panjang. (Pandemi ini juga menghabiskan seluruh uang yang disisihkan untuk menyelesaikan pembangunan rumah Muslim kolonial dari Kerala!)
Hubungan dengan donor: Penelitian menunjukkan bahwa donor yang mendukung museum biasanya terus mendukung museum. Namun, hal itu hanya terjadi jika mereka melihat nilai yang ada di museum dan jika museum telah membuat para donatur merasa menjadi bagian darinya. Hal ini membutuhkan perhatian dan kerja yang terkonsentrasi, yang tidak pernah cukup. Sebelumnya, saya melakukan hal ini secara pribadi, namun sekarang hubungan donor perlu dibangun dengan sistem yang jelas, dan dengan individu yang bertanggung jawab atas tindak lanjut yang berempati dan pengembangan hubungan.
Pemasaran dan komunikasi: Pemasaran pertama museum DakshinaChitra datang melalui sekolah-sekolah tempat museum bekerja sama dan melalui anak-anak yang datang dari sekolah mereka ke museum. Mereka, pada gilirannya, membawa orang tua mereka. Pada awalnya, kami menghabiskan begitu banyak waktu untuk membuat program bulanan sehingga kami tidak punya waktu lagi untuk mempublikasikannya, sehingga pengunjung hanya sedikit. Sebuah perusahaan publisitas kemudian dipekerjakan sebagai punggawa. Perusahaan membutuhkan semua rincian program masa depan satu bulan sebelumnya, dan hal ini mendorong staf untuk bekerja jauh sebelumnya. DakshinaChitra sekarang bekerja satu tahun sebelumnya, menganggarkan 90% program kami pada bulan Februari untuk tahun fiskal berikutnya yang dimulai pada bulan April.
Meskipun kami menerima publisitas yang baik di media berbahasa Inggris, pengaruh pers Tamillah yang menarik sebagian besar pengunjung. Pengunjung sebelum pembatasan COVID berjumlah sekitar 250.000 setiap tahunnya. Kebutuhan saat ini adalah lebih berkonsentrasi pada pemasaran karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang DakshinaChitra. Oleh karena itu, pemasaran khusus adalah kuncinya, dan penting untuk meningkatkan pengunjung hingga setidaknya 350.000 orang setiap tahunnya untuk membantu mempertahankan museum di masa depan, karena pengunjung adalah sumber pendapatan utama.
Saat ini, dan terutama karena dampak lockdown dan ketidakpastian akibat COVID, museum di seluruh dunia sedang mengalami perubahan. Teknologi dan pemasaran digital telah menjadi kapasitas utama yang harus dibangun. Program saat ini harus diiklankan secara luas di Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Semua program yang dilakukan secara fisik di DakshinaChitra harus memiliki resonansi di ruang digital. Kita harus berupaya menjangkau komunitas kita lebih dalam, terhubung dengan mereka, dan mengembangkan program yang relevan dan menarik bagi setiap kelompok umur, kelompok etnis, dan berbagai kelompok pemirsa lainnya. Museum, seperti halnya budaya, tidak bisa tetap statis.
Membangun sumber daya manusia: Untuk membantu kami menghadapi tantangan ini, DakshinaChitra memperkenalkan magang manajemen seni dan museum selama satu tahun. Magang yang kini memasuki tahun ke-15 ini awalnya dimaksudkan untuk membantu memprofesionalkan staf museum dan dunia budaya, serta membantu mengisi posisi staf. Itu telah dilakukan. Magang terdiri dari 1,5 hari per minggu kelas akademik dalam sejarah seni dan estetika, antropologi dan cerita rakyat, keuangan dan penganggaran, serta museologi dan kurasi. Empat hari dalam seminggu dihabiskan untuk praktik langsung di museum, dengan pekerja magang dirotasi setiap bulan ke departemen berbeda. Saat ini, energi dan ide dari 10 anak magang yang dibawa ke museum setiap tahun telah membantu DakshinaChitra tetap mengikuti tren saat ini dan tuntutan teknologi yang progresif. Magang adalah proposisi win-win, dan jenis modul pelatihan lainnya juga dipertimbangkan selain magang. Kursus ini bisa jadi merupakan kursus pelatihan yang lebih singkat karena terdapat sejumlah besar peminat yang kurang terlayani dan memerlukan kesempatan mengikuti pelatihan warisan budaya di museum seperti ini agar bisa menjadi profesional yang memasuki bidang budaya.
DakshinaChitra merupakan perjalanan yang panjang, terkadang membosankan, namun selalu sangat bermanfaat. Hal ini telah memperkaya setiap peserta yang telah berupaya menjadikan ruang ini seperti sekarang ini. Kami berharap upaya kami untuk melestarikan dan mempromosikan seni, kerajinan, dan pertunjukan rakyat di lima negara bagian di India Selatan akan membantu masyarakat untuk merefleksikan warisan mereka dan apa yang dapat dipelajari dan diambil dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Rebecca Terselubung, Museum Salar Jung Di India

Rebecca Terselubung, Museum Salar Jung Di India

Rebecca Terselubung, Museum Salar Jung Di India

Henschelsindianmuseumandtroutfarm.com – The Veiled Rebecca, atau The Veiled Rebekah, adalah patung yang dibuat oleh pematung neoklasik Italia, Giovanni Maria Benzoni, yang menggambarkan Rebecca. Benzoni diyakini telah membuat empat salinan patung ini. Yang ada di Museum Salar Jung, Hyderabad, India, digambarkan sebagai melodi dari marmer.

Gaya dan detail
Dalam Alkitab Ibrani, Rebecca adalah pengantin Ishak yang ditutupi kerudung transparan saat pernikahan mereka. Patung Rebecca seukuran aslinya ini mewakili kepolosan dan kemurnian saat Giovanni Benzoni dengan terampil menciptakan tampilan kerudung transparan, sebuah kreasi artistik yang luar biasa. Berdiri setinggi 167,0 cm dengan patung dan alas bundarnya diukir dari satu balok marmer tanpa sambungan apa pun. Alasnya terdapat tulisan di dekat kaki kanannya yang menyebutkan nama pematung, kota dan tahun.

Dipercaya bahwa Benzoni membuat empat salinan patung ini. Salah satunya adalah koleksi di Museum Salar Jung, Hyderabad (India). Ada juga salinannya di High Museum of Art di Atlanta, Georgia (AS). Salinan lainnya, selesai pada tahun 1866, ada di Museum Berkshire di Pittsfield, Massachusetts (AS). Yang keempat adalah di Detroit Institute of Art, di Michigan (AS). Perbedaan yang menarik antara patung Rebecca Bercadar di Museum Salar Jung dengan patung lainnya adalah patung di Museum Salar Jung mengangkat cadarnya dengan tangan kanan sedangkan salinan lainnya melakukannya dengan tangan kiri.

Museum Salar Jung:

Museum Salar Jung adalah museum seni yang terletak di Darushifa, di tepi selatan Sungai Musi di kota Hyderabad, Telangana, India. Ini adalah salah satu dari tiga Museum Nasional India. Memiliki koleksi patung, lukisan, ukiran, tekstil, manuskrip, keramik, artefak logam, karpet, jam, dan furnitur dari Jepang, Cina, Burma, Nepal, India, Persia, Mesir, Eropa, dan Amerika Utara. Koleksi museum bersumber dari milik keluarga Salar Jung. Ini adalah salah satu museum terbesar di dunia.

Museum Salar Jung di Hyderabad adalah gudang pencapaian artistik dari beragam negara Eropa, Asia, dan Timur Jauh di dunia. Sebagian besar koleksi ini diakuisisi oleh Nawab Mir Yousuf Ali Khan yang dikenal sebagai Salar Jung III. Semangat memperoleh benda-benda seni berlanjut menjadi tradisi keluarga selama tiga generasi Salar Jung. Pada tahun 1914, Salar Jung III, setelah menyerahkan jabatan Perdana Menteri kepada HEH, Nizam VII, Nawab Mir Osman Ali Khan, mengabdikan sisa hidupnya dalam mengumpulkan dan memperkaya khazanah seni dan sastra hingga ia hidup. Benda-benda seni berharga dan langka yang dikumpulkannya selama lebih dari empat puluh tahun, ditempatkan di portal Museum Salar Jung, sebagai karya seni langka hingga sangat langka.

Setelah kematian Salar Jung-III, banyak sekali koleksi benda seni berharga dan Perpustakaannya yang bertempat di “Dewan-Deodi”, istana leluhur Salar Jung, keinginan untuk mendirikan Museum dari koleksi Nawab segera muncul. dan Sri MK Velodi, Kepala Administrator Sipil Negara Bagian Hyderabad saat itu mendekati Dr.James Cousins ​​​​seorang kritikus seni terkenal, untuk mengatur berbagai benda seni dan barang antik yang tersebar di berbagai istana Salar Jung III untuk membentuk Museum.

Dalam rangka melanggengkan nama Salar Jung sebagai penikmat seni rupa ternama dunia, Museum Salar Jung dihadirkan dan dibuka untuk umum oleh Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India saat itu pada tanggal 16 Desember 1951.

Namun, pengelolaan Museum tetap berada di tangan Komite Perkebunan Salar Jung hingga tahun 1958. Setelah itu, ahli waris Salar Jung Bahadur dengan senang hati setuju untuk menyumbangkan seluruh koleksinya kepada Pemerintah India melalui Akta Kompromi berdasarkan Keputusan Pengadilan Tinggi. pada tanggal 26 Desember l958. Museum ini terus dikelola langsung oleh Pemerintah India hingga tahun 1961. Melalui Undang-Undang Parlemen (UU 26 Tahun 1961) Museum Salar Jung dengan Perpustakaannya dinyatakan sebagai Lembaga Kepentingan Nasional. Pemerintahan dipercayakan kepada Dewan Pengawas Otonomi dengan Gubernur Andhra Pradesh sebagai Ketua Ex-officio dan sepuluh anggota lainnya mewakili Pemerintah India, Negara Bagian Andhra Pradesh, Universitas Osmania dan satu dari keluarga Salar Jungs.